Bandung, KLIKMU.CO – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir menyampaikan materi pada hari pertama pada Dialog Ideopolitor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Barat di Auditorium KH Ahmad Dahlan UM Bandung, Sabtu (13/8) malam.
Di antara paparan menarik Haedar Nashir adalah bahwa ideologi, politik, dan organisasi merupakan tiga elemen yang sangat penting di Muhammadiyah. Karena itu, perlu didialogkan di kalangan pimpinan persyarikatan.
Hal yang tidak mudah itu, kata Haedar, yakni distingtif dan identitas khas dari ideologi dan kerangka berpikir tentang politik serta berbagai aspek kehidupan lain dari pandangan, paradigma, dan pola pikir Muhammadiyah itu sendiri.
Haedar mengungkapkan bahwa distingtif dan identitas khusus itu penting karena itulah yang akan membedakan Muhammadiyah dengan gerakan yang lain.
”Berbeda bukan berarti harus saling bermusuhan dan menegasikan. Distingtif dan identitas itu akan membuat kita tahu posisi diri dan peran yang bisa kita lakukan dan yang membedakan kita dengan orang lain dalam memahami serta mengimplementasikan Islam yang menjadi fondasi, substansi, orientasi, bahkan cita-cita luhur gerakan Muhammadiyah termasuk Aisyiyah,” kata Haedar.
Ideologi dalam Muhammadiyah, menurut Haedar, satu paket dengan pemikiran keagamaan atau keislaman. Ideologi dan seluruh pandangan serta orientasi organisasi, baik orientasi dimensi politik, amal usaha berbagai aspek, maupun konstruksi organisasi, tidak lepas dari pandangan Islam yang diyakini dan dipahami oleh Muhammadiyah.
Haedar lantas menyinggung soal lahirnya Muhammadiyah di Nusantara yang tergolong unik dan tidak lazim. Mengutip analisis dari Nurcholish Madjid, Haedar Nashir mengatakan bahwa KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah melakukan tajdid atau pembaruan yang melompat dan tidak mengalami prakondisi sebelumnya.
Kenapa KH Ahmad Dahlan melakukan pembaruan yang melompat seperti itu? Karena KH Ahmad Dahlan mampu menerjemahkan Al-Quran, khususnya Tafsir Al-Manar, dalam konteks zaman ketika KH Ahmad Dahlan hadir.
”KH Ahmad Dahlan mampu menggunakan metode-metode baru untuk menghadirkan Islam,” ucap Haedar Nashir.
Haedar kemudian mengutip pendapat Mukti Ali (tokoh Muhammadiyah, ahli perbandingan agama, dan Menteri Agama zaman Orde Baru) yang mengatakan bahwa pembaruan KH Ahmad Dahlan itu berbeda dengan pembaruan-pembaruan sebelumnya. Baik yang dilakukan oleh Muhammad Abdul Wahab, Ibnu Taimiyyah, Muhammad Rasyid Ridha, maupun tokoh-tokoh yang lain.
”Apa bedanya? Contohnya ada dua hal. Pertama, KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah telah melahirkan institusi atau organisasi modern. Gerakan sebelumnya sebatas pemikiran. Kedua, ini yang tidak dimiliki gerakan sebelumnya, yakni melahirkan gerakan perempuan bernama Aisyiyah yang hadir ke ruang publik. Kemudian melakukan pembaruan peran perempuan Islam di Indonesia,” tandasnya.
Di samping gerakan pembaruan yang modern dan melampaui jauh ke depan, konsep dakwah amar makruf nahi munkar di Muhammadiyah, kata Haedar, sangat kuat mengakar. Inilah salah satu yang menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah. (FA/AS)