Muhammadiyah Menawarkan Modernisasi, NU Merawat Kultur

0
79
Muhammadiyah Menawarkan Modernisasi, NU Merawat Kultur. (Ilustrasi)

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

Tidak ada kata gagal dalam dakwah.

Saya hanya ingin mengomparasi dengan tidak bermaksud membanggakan atau lainnya yang semisal—semacam muhasabah tipis-tipis melihat capaian produk dakwah yang telah dikakukan.

Jika salafisme dimulai sejak berdirinya LIPIA tahun 1980, salafi telah berumur 44 tahun.

Muhammadiyah sejak tahun 1912, berusia 112 tahun. NU berdiri tahun 1926, berarti telah berusia 98 tahun.

Muhammadiyah menawarkan kemodernan (modernisasi). NU merawat kultur.

Meski keduanya beda, tapi bisa bertukar cara saling menggenapi. Tidak hanya membincang kualitas shalat, tapi juga kualitas hidup.

Masing-masing harakah memiliki metode, strategi, dan capaian yang hendak dituju sebagai washilah tegakkan izzul Islam.

Bermula dari realitas umat Islam saat tahun 1912 di mana umat Islam mengalami banyak soal: mulai pendidikan terbelakang, kualitas kehidupan rendah, pengetahuan agama yang jumud, dan lainnya: Kiai Dahlan mengambil beberapa langkah strategis sebagai hipotesis dakwahnya.

Kiai Dahlan mendirikan Muhammadiyah atas usul santrinya Kiai Sangidu, ada empat bagian: bahagian pendidikan, bahagian tabligh, bahagian poestaka, dan bahagian penolong kesengsaraan oemeoem.

Hipotesis ini dikembangkan oleh Kiai Dahlan sabagai salah satu cara atau manhaj untuk memperbaiki keberagamaan umat Islam. Hingga 112 tahun kemudian kita bisa melihat ada ratusan perguruan tinggi berkelas, rumah sakit, panti asuhan puluhan ribu masjid dan mushala, sekolah dari PAUD hingga sekolah menengah, hotel syariah, Lazismu, MDMC, dan masih banyak lagi lainnya sebagai ikhtiar memperbaiki kualitas umat Islam, melahirkan ratusan ribuan sarjana muslim dari berbagai disiplin ilmu.

Tradisi NU tak bisa dilepaskan dari kerja keras Wali Songo. Peletak dasar Islam di Nusantara. Wali Songo tak hanya sukses membuat penduduk Nusantara memeluk Islam, tetapi juga sukses menguasai politik kekuasaan. Peran Wali Songo di lingkaran istana kekuasaan sangat kental terasa. Setidaknya posisinya sangat diperhitungkan menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan.

Bagi para Wali Songo, istana kekuasaan bukan sesuatu yang harus ditabukan apalagi dihindari, tapi dipahami sebagai kesatuan utuh politik berdakwah. Pemahaman seperti inilah yang membuat dakwah Wali Songo berhasil. Bukan memposisikan sebagai oposisi dan tidak menjadikan penguasa sebagai lawan bertanding.

Para ulama pesantren adalah bukti bahwa keberadaan NU secara kultural teologis mewakili para wali. Dengan benang merah yang sangat kuat baik pada aspek syariah, muamalah bahkan politik, termasuk tasawuf dengan berbagai khasanahnya.

Sama dengan Muhammadiyah, dakwah NU telah melahirkan ribuan pesantren, ratusan perguruan tinggi, ribuan sekolah, rumah sakit, Lazisnu, dan masih banyak lagi lainnya sebagai bukti keberhasilan atau capaian dakwahnya.

Muhammadiyah dan NU telah terbukti hadir melayani umat, bukan hanya lantang bicara halal dan haram, sunah dan bidah, apalagi mengafirkan sesama mukmin yang tidak se-manhaj, tapi juga menawarkan solusi. Kedua harakah ini tidak hanya mengajarkan kesalehan personal, tapi juga kesalehan sosial agar memberi manfaat yang banyak bagi sekitar.

Membimbing yang belum shalat, mengajarkan Al-Qur’an. Membantu yang lemah, menolong yang fakir, membantu yang kesulitan bayar UKT, membantu menebus resep obat, memeluk anak yang kehilangan orang tua, merawat nenek yang telantar, mengasihi anak yatim memberi makan orang miskin, itulah Islam yang sesungguhnya bukan hanya pintar menghapal dalil dan adu kuat hujah. Muhammadiyah dan NU membentang kehidupan umat Islam penuh seluruh.

Bahwa berilmu saja tak cukup. Jika membuatnya tinggi hati, amal saleh adalah bukti iman, bukti Islam yang sesungguhnya. (*)

Dr Nurbani Yusuf MSi
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini