Oleh: Aristiana P. Rahayu *)
KLIKMU.CO
Lirik lagu Kasih Ibu karya S.M. Mochtar begitu melegenda. Menggambarkan ibu sebagai sosok yang sempurna. Kasihnya tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak pernah mengharap kembali. Sosok ibu pun digambarkan sebagai sang surya yang menyinari dunia.
Lagu itu seperti sudah melekat dengan anak-anak usia dini. Dinyanyikan di setiap rumah dan sekolah dengan rasa bahagia. Berpuluh-puluh tahun kemudian, lirik lagu itu tak pernah hilang dari ingatan. Seolah sebagai pesan abadi bahwa ibu adalah sosok yang penuh kelembutan, kasih sayang, dan selalu siap berkorban untuk anak-anaknya.
Namun, deskripsi tentang sosok ibu yang demikian indah itu serasa porak-poranda saat muncul berita pembunuhan sadis di Dusun 2, Desa Banua Sibohou, Kecamatan Namohalu Esiwa, Kabupaten Nias Utara, Sumatera Utara (9/12). Seorang ibu berinisial MT, 30, tega membunuh tiga anak kandungnya sendiri yang masih balita. Ketiga korban diketahui berinisial YL, 5; SL, 4; dan DL, 2.
Setelah membunuh tiga anaknya itu, pelaku sempat berusaha bunuh diri. Caranya menggorok leher sendiri dengan parang. Penyebab aksi keji itu diduga impitan masalah ekonomi dan hubungan yang kurang harmonis dengan suaminya.
Sebelumnya, masyarakat juga dikejutkan berita seorang ibu di Lebak, Banten, yang tega menganiaya putrinya hingga meninggal. Alasannya, si ibu kesal karena anaknya susah memahami pembelajaran daring.
Kasus memilukan ini menyadarkan kita, baik sebagai orang tua, perempuan, maupun bagian dari elemen masyarakat, sudah sedemikian beratkah beban yang ditanggung para ibu saat ini? Sehingga nalar sehat dan kodrat kasih sayang mereka tak mampu membendung derasnya impitan tekanan hidup atau kemarahan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut kekerasan terhadap anak, salah satunya, disebabkan beratnya beban ibu saat pandemi Covid-19. Hal ini dikuatkan dengan hasil survei KPAI terhadap orang tua maupun anak. Survei itu menyasar responden orang tua perempuan lebih besar, yaitu 74,4 persen, dan laki-laki 25,6 persen. Survei secara online mulai 8–14 Juni 2020 melibatkan 25.146 anak dan 14.169 orang tua yang tersebar di 34 provinsi Indonesia.
Temuan hasil survei kepada anak, pengasuhan dominan dilakukan ibu. Para ibu mengedukasi anak seperti memberi tahu tentang protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19, mendampingi anak saat belajar, mendampingi anak beraktivitas, termasuk mengajak beribadah, hingga membangun rasa kepedulian kepada sesama.
Survei juga menemukan bahwa 21 persen ayah tidak pernah mendampingi anak belajar. Lalu, 17,5 persen ayah tidak pernah menemani anak beraktivitas. Temuan lainnya, hanya 33,8 persen orang tua yang pernah mengikuti pelatihan atau memperoleh informasi tentang pengasuhan (parenting).
Pandemi, Ketangguhan Keluarga dan Kepedulian
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung hampir setahun menjadi ujian besar bagi negara sekaligus masyarakat hingga dalam tatanan ruang terkecil, yaitu keluarga. Berbagai kasus kekerasan yang dilakukan ibu kepada anak tidak bisa dilepaskan dari beratnya beban psikologis, domestik, sekaligus beban pengasuhan yang harus ditanggung. Peran ini semakin berat apabila tidak ada kerja sama yang baik antara ibu dan ayah dalam keluarga.
Dalam banyak kasus kekerasan kepada anak, baik yang terjadi sebelum atau selama pandemi Covid-19, salah satu pintu masuknya adalah ketidakseimbangan pembagian peran dalam rumah tangga. Pengasuhan anak sesungguhnya tidak hanya menjadikan perempuan sebagai penanggung jawab utama. Namun, peran ayah di dalamnya juga sangat penting.
Hart (2002) menegaskan bahwa ayah memiliki peran keterlibatan dalam pengasuhan anak. Di antaranya, economic provider (ayah dianggap sebagai pendukung finansial dan perlindungan bagi keluarga), cargiver (ayah dianggap mampu memberikan stimulasi afeksi dalam berbagai bentuk sehingga mampu memberikan rasa nyaman penuh kehangatan), teacher and role model (sebagaimana ibu, ayah juga bertanggung jawab terhadap apa saja yang dibutuhkan anak untuk masa mendatang melalui latihan dan teladan yang baik), serta resources (melalui berbagai cara dan bentuk, ayah mendukung keberhasilan anak dengan memberikan dukungan di belakang layar).
Dalam kasus kekerasan ibu kepada anak yang penulis temukan di lapangan, pintu masuk masalah ini adalah kehadiran ayah yang ada dalam keluarga, namun absen dalam perannya.
Keluarga dengan tingkat ekonomi rendah, pendidikan rendah, dan pemahaman serta pengaplikasian nilai-nilai spiritualitas rendah memiliki risiko lebih besar akan terjadinya kekerasan dalam keluarga. Dalam kondisi seperti ini, sangat penting membangun solidaritas sosial.
Solidaritas sosial menjadi penting karena sebagai titik tumpu bukti kekuatan masyarakat dan bagaimana menghadapi permasalahan. Para ibu di berbagai kota di Indonesia, dengan fitrah kasih sayang dan kemanusiaannya, telah menjadi bagian penting dalam mengambil peran sebagai pembawa solusi terhadap berbagai persoalan sosial di masyarakat melalui bantuan kesehatan, pangan, maupun penciptaan lapangan kerja (ekonomi).
Namun, melihat kembali fakta banyaknya kasus kekerasan dalam keluarga yang justru dilakukan para ibu mengharuskan kita semua makin sadar diri. Bahwa membangun solidaritas bukan semata-mata membantu masalah kesehatan, pangan, dan ekonomi. Namun juga membangun komunikasi antartetangga sebagai sikap peduli dan empati.
Selain itu, penting dilakukan gerakan edukasi pola pengasuhan anak dengan pola dan sistem yang bisa diakses secara mudah dan diterima semua lapisan masyarakat. Selamat Hari Ibu. (*)
*) Dosen FKIP-PG PAUD Universitas Muhammadiyah Surabaya, ketua Komunitas Cahaya Bunda
Tulisan ini sudah dimuat Jawa Pos edisi Selasa, 22 Desember 2020. Redaksi memuatnya kembali atas seizin penulis.