Oleh: Ace Somantri
KLIKMU.CO
Belum lama ini ada rilis hasil survei yang dilakukan lembaga survei Indikator dengan tema tentang arah baru pendidikan Indonesia. Namun, yang muncul dalam rilis tersebut lebih fokus dan terkesan survei popularitas figur Mas Menteri. Dari responden yang disurvei, rilis media menginformasikan 58,7 persen tidak tahu sosok Mas Menteri Nadiem Makarim dan 41 persen mengenalnya, sementara sisanya di antara hal tersebut.
Justru seharusnya informasi tentang arah pendidikan yang dituju indikatornya fokus pada pemahaman masyarakat terhadap dunia pendidikan. Bukan menyampaikan indikator popularitas figur menteri. Bukan popularitas ketercapaian hasil kinerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Ada beberapa hal yang harus dikritisi oleh publik, khususnya warga pendidikan, ketika diminta pendapat terhadap persoalan-persoalan pendidikan yang terjadi saat ini dan perkembangan pendidikan Indonesia ke depan. Idealnya, indikator lembaga survei lebih menekankan pada pemetaan masalah terkini yang akan berdampak di masa yang akan datang. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk membuat pembaruan pendidikan Indonesia, selain beban sejarah yang telah membentuk watak dan karakter wajah pendidikan Indonesia yang didominasi hasil warisan dari harta pusaka pendidikan impor dari kolonialis Belanda yang mencengkeram 3,5 abad lamanya.
Kesadaran pemerintah, dalam hal ini melalui kementerian yang membidangi, harus segera membuat fomula pendidikan yang orisinal. Bukan menduplikasi, kecuali konsep dari negara lain dijadikan referensi sesuai kebutuhan. Selanjutnya, fomula pendidikan benar-benar dibuat berdasarkan kebutuhan perioritas. Bicara arah baru pendidikan, bicara nilai-nilai luhur bangsa Indonesia berdasarkan 5 sila dasar yang termaktub di dasar negara, yaitu Pancasila.
Sila pertama memiliki spirit ketauhidan dalam menjalankan sistem pendidikan di Indonesia. Substansinya ada titik singgung yang sama dengan wahyu pertama yang diturunkan bahwa membaca (pendidikan) harus menyebut nama Allah SWT. Artinya, semua hal ihwal dunia pendidikan harus berdasarkan ke-Tuhan-an yang Esa (Tauhid). Pendidikan bukan berdasarkan atas kekuasaan semata, melainkan berdasar pada ke-Tuhan-an, kemanusiaan, kesatuan, dan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Jikalau ini menjadi nilai dasar dalam mengembangkan sistem pendidikan di Indonesia yang diturunkan dalam bentuk kebijakan perumusan kurikulum tingkat dasar, menengah, dan tinggi, di saat bersamaan akan terjadi harmoni. Diakui atau tidak, arah baru pendidikan Indonesia yang sudah menjadi konsesus sosial dan politik, selain menekankan nilai moral dan ahlak mulia bagi warga negara, ada juga indikator ketercapaian pendidikan Indonesia yang measurable (terukur).
Untuk tidak disalahpahami, keterukuran tidak harus pendekatan kuantitatif. Apalagi meminjam istilah dari Muller, “the tyranny of matric”, mensinyalir adanya mafia global yang menjajah penilaian indikator ketercapaian kinerja dunia pendidikan berbasis matrik. Tirani yang dimaksud, apabila benar adanya, merupakan bentuk kejahatan yang terstruktur dan menzalimi kehidupan manusia berjangka panjang.
Alangkah lebih elok bagi lembaga survei tidak terjebak matrik juga, melainkan mencoba membuat rumusan indikator lebih detail yang mengarahkan pada titik kritis sistem pendidikan yang lebih objektif, rasional, disadari, dipertanggungjawabkan, dan mampu ditranformasikan kepada semua warga pendidikan Indonesia tanpa kecuali. Sehingga peningkatan indeks pertumbuhan manusia terus meningkat dan passing grade tingkat pendidikan masyarakat Indonesia akan terus merangkak naik mengejar ketertinggalan dari negara yang terbilang baru merdeka dari keterjajahan. (AS)
Bandung, Juni 2022