TKI : SANG PAHLAWAN DEVISA?

0
1534

 

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (QS 13:11).

Pepatah lama mengatakan “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang lain”. Ini mengandung pengertian bahwa mencintai negeri asal itu lebih bermartabat dan mulia meskipun hidup dalam kondisi serba kekurangan (baca = secara ekonomis). Pertanyaannya sekarang adalah masih relevan atau berlakukah pepatah di atas jika ia (pepatah) dikaitkan dengan potret para TKI kita akhir-akhir ini?

Terlepas dari itu semua, penulis bermaksud mengetengahkan 3 (tiga) faktor yang mendorong seseorang menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Namun sebelumnya ada baiknya kita pahami terlebih dahulu dasar hukum keberadaan TKI di luar negeri.

Dasar hukum keberadaan TKI di luar negeri adalah pasal 27 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Dalam ayat (1) ditegaskan bahwa penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahannya telah membuat perjanjian tertulis dengan pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing.

Jadi secara legal formal (hukum) keberadaan TKI di luar negeri sah adanya. Artinya hal tersebut diketahui dan diterima oleh kedua belah pihak baik si pemasok tenaga kerja maupun si pengguna tenaga kerja tersebut. Adapun kemudian terjadi berbagai kasus yang menimpa TKI, misalnya ada TKI melarikan diri dari tempat kerja, majikan menyiksa TKI, bahkan memperkosanya atau sebaliknya TKI membunuh majikan, istri majikan atau anak majikan. Hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi manakala kedua belah pihak saling mematuhi perjanjian yang mereka buat dan sepakati bersama.

Secara substansial ada 3 (tiga) faktor yang mendorong seseorang menjadi TKI yaitu: (1) motivasi, (2) berpola pikir prakmatisme, dan (3) ketatnya persaingan mencari lowongan kerja.

1. Motivasi

Salah satu alasan utama mengapa seseorang terobsesi menjadi TKI adalah ingin merubah nasib yaitu dari serba kekurangan menjadi berkecukupan, baik papan, sandang dan pangan. Namun sayang apa yang mereka impikan tersebut belum 100% terealisasi karena banyaknya prosedur dan aturan yang harus mereka tempuh. Ironisnya hal tersebut tidak menjadikan mereka putus asa, justru sebaliknya mereka semakin giat dan yakin bahwa mereka akan berhasil. Semangat hidup yang menyala-nyala itu sedikit banyak terinspirasi oleh Firman Tuhan dalam Al Qur’an yang artinya “sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (QS 13:11). Namun sayang mereka (TKI) terutama yang ilegal pada umumnya miskin pengetahuan dan keterampilan sehingga sering menjadi masalah di kemudian hari.

2. Pola pikir pragmatis

Dalam bukunya yang berjudul Pragmatism (1907) William James mengetengahkan bahwa inti ajaran prakmatisme adalah sesuatu itu baru dianggap bernilai bila ia bermanfaat. Asal bermanfaat untuk dirinya dan orang lain, apa saja bisa dilakukan – termasuk menipu, menyuap, memanipulasi dan sebagainya. Seperti yang dilakukan oleh sebagian besar calon TKI beserta beberapa instansi yang melindungi mereka. Juga tidak ketinggalan para calonya. Mereka (para TKI) tidak segan-segan utang sana – utang sini, jual ini – jual itu, bila perlu tipu sana – tipu sini termasuk memanipulasi identitas diri dalam hal ini soal umur sebagaimana yang dilakukan Ruyati dan para TKI lainnya. Mereka yakin dengan bekerja sebagai TKI hidup mereka akan bermanfaat tanpa berpikir cara yang mereka tempuh yang penting sukses titik.

3.Persaingan yang ketat

Sebagai konsekuensi logis dari era globalisasi dan informasi, individu harus pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan. Segalanya serba cepat dan tepat termasuk dalam mencari lowongan kerja. Tidak cukup mengandalkan ijazah SMA, SMK atau PT (Perguruan Tinggi) tetapi mereka (pencari kerja) harus memiliki ketrampilan tertentu yang bernilai tambah. Jika tidak, mereka akan terlibas begitu saja oleh pesaing lain. Selanjutnya mereka akan jadi pengangguran abadi. Yang lebih menyedihkan lagi jumlah perusahaan di sektor industri saat ini semakin kecil. Sebagaimana harian Kompas tulis dalam tajuk rencananya berjudul “Bahaya Deindustrialisasi” (Kompas, 21 Mei 2011).

Dengan mengecilnya jumlah perusahaan di sektor industri otomatis akan memperbesar jumlah orang miskin dan pengangguran. Bila hal ini terus dibiarkan, maka berpotensi mendorong orang ingin bekerja ke luar negeri sebagai buruh migran alias TKI, meskipun dengan bekal pengetahuan sekedarnya. Akibatnya mereka kebanyakan hanya bisa bekerja di ranah domestik, yaitu menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT).

Sebagai penutup tulisan ini penulis ajukan beberapa usulan kepada pemerintah, yang pertama hendaknya pemerintah lebih mengedepankan program-program pro rakyat kecil seperti para petani, nelayan dan kaum buruh sehingga memperkecil animo orang menjadi TKI. Kedua, pemerintah dalam menangani masalah TKI harus benar-benar “HADIR” artinya ketika para TKI menghadapi masalah berat, jangan pura-pura tidak tahu – seolah-olah tidak ada masalah, sebaliknya ketika para TKI mengurus surat ini dan itu begitu semangatnya pihak pemerintah meresponnya. Karena apa? Ada bisnis di balik itu semua. Dan yang terakhir himbauan kepada masyarakat luas dan khususnya para calon TKI jangan mudah termakan oleh slogan “TKI, Pahlawan Devisa Negara” yang sebenarnya itu hanya bentuk promosi terselubung yang menguntungkan para penyelenggara & calo. Oleh karena itu jangan terpedaya olehnya.

Choirul Amin, 

Penulis, adalah Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PDM Surabaya

Leave feedback about this

  • Quality
  • Price
  • Service

PROS

+
Add Field

CONS

+
Add Field
Choose Image
Choose Video