Lokomotif Gerakan Pimpinan Muhammadiyah Jawa Barat

0
124
Ace Somantri, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung (Dok pribadi)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Muhammadiyah identik dengan gerakan dakwah, baik untuk gerakan amar makruf maupun gerakan nahi munkar. Masuk abad kedua, gerakan Muhammadiyah disukai atau tidak faktanya sudah masuk dalam ruang dan waktu pada era digital. Konsekuensinya, seluruh aktivitas kegiatan gerakan Muhammadiyah baik kegiatan organisasi induk persyarikatan ataupun amal usaha serta organisasi otonom harus mendayagunakan fasilitas teknologi digital kekinian. Namun, praktiknya tidak mengabaikan nilai-nilai Ilahiyah ketauhidan, baik langsung secara vertikal maupun melalui perantara aktifitas yang bersifat horizontal.

Gerakan Muhammadiyah hingga saat ini memang ada, namun formulasinya masih cenderung mengikuti pola lama. Sehingga dinamisasi gerakan kurang memiliki “greget” yang memantik para aktivis. Hal tersebut dikarenakan pascareformasi terindikasi ada polarisasi gerakan dakwah Muhammadiyah yang bersentuhan dengan nilai pragmatis berorientasi politis.

Dirasakan atau tidak, nuansanya terdapat semerbak “bau amis” yang memengaruhi spirit dan motivasi  pergerakan yang melemahkan gerakan dakwah secara tidak langsung. Berbagai isu-isu politik kebangsaan dan keumatan yang berdampak pada diskriminasi kelompok masyarakat sering muncul dan terjadi, namun persyarikatan tidak bersuara seolah tak berdaya.

Dalam konteks Jawa Barat, Muhammadiyah selama ini relatif tidak jauh beda pada umumnya. Eksistensi persyarikatan Muhammadiyah terlihat dan terasa manakala ada amal usaha, tidak peduli kondisinya baik atau kurang baik. Karena yang dibutuhkan wujud bersifat fisik yang cukup dengan simbol semata bahwa Muhammadiyah itu ada. Padahal, simbol itu hanya sekedar tanda dan bukti di permukaan bukan substansi dan isi sebenarnya.

Konsekuensinya, keberadaan persyarikatan Muhammadiyah tidak memiliki kualitas yang lebih pantas, tidak memiliki bargaining position. Sehingga siapa pun bagi mereka ketika mengetahui substansi sebenarnya jauh untuk menghargai dan menghormati, melihat pun enggan dikarenakan keberadaannya tidak akan mampu memberi makna yang berarti.

Saatnya gerakan Muhammadiyah cara dan model harus diubah tampilannya. Selama ini tampilan Muhammadiyah terkesan elitis-strukturalis. Wajah dan muka para penggerak Muhammadiyah bukan aktivis sarungan, melainkan para profesional yang waktunya banyak tersita untuk melayani lembaga dan institusi dimana dia bekerja, sementara masyarakat umum jarang di sentuh apalagi masyarakat pinggiran dhuafa jauh untuk di sentuh terlihat pun enggan.

Berdakwah hanya dari sekolah ke sekolah, dari kampus ke kampus, dan sesekali dari masjid ke masjid. Itu pun masjid milik Muhammadiyah. Padahal masyarakat pada umumnya berada di pinggiran dan pojok kota, selain itu juga sebenarnya yang membutuhkan sentuhan persyarikatan pada umumnya adalah kelompok abangan dalam paham keagamaan Islam.

Tampilan gerakan dakwah Muhammadiyah saatnya menghilangkan kesan elitis, yang hanya dapat disentuh oleh kalangan masyarakat kelompok profesional menengah. Padahal nyatanya biasa saja tidak ada bedanya dengan masyarakat umum. Pimpinan lokomotif gerakan harus memberi warna baru dalam menembus batas lapisan masyarakat bawah hingga pinggiran desa.

Berbagai kelompok masyarakat boleh masuk untuk menjadi pimpinan dan anggota persyarikatan, baik kalangan intelektual, profesional, wiraswastawan, buruh, petani, nelayan hingga para tunawisma. Pimpinan lokomotif  melaju cepat pada rel yang lurus, gerak laju dakwah persyarikatan sesuai khittah. Siapa pun warga persyarikatan yang menghalangi gerak laju lokomotif ada konsekuensinya, baik itu di tabrak atau tertabrak, dan gerakan fokus pada tujuan yang hendak dicapai.

Saat ini umat butuh ketegasan dan kejelasan sikap akan aturan, jangan dipermainkan dengan simbol penuh ambigu karena aturan Allah Ta’ala itu jelas dan tegas memberi tanda dalam wahyu-Nya. Dalam konteks aturan terdapat hak dan bathil, kiri dan kanan, serta ada atas dan bawah. Sikap abu-abu tidak diajarkan dalam penegakan dan keadilan hukum, siapa pun yang salah harus di hukumi salah dan yang benar di hukumi benar tidak sebaliknya.

Pimpinan kolektif semestinya bak lokomotif kereta, lurus melaju cepat pada relnya. Begitu pun pimpinan persyariakatan Muhammadiyah harus melaju cepat pada khittahnya, karena membawa gerbong yang penuh warga berbagai kelas dan kalangan masyarakat. Bukan mobil mewah yang hanya ada beberapa penumpang di kalangan bangsawan kaum elit.

Gerak laju lokomotif senantiasa memberi tanda dalam jarak yang jauh, berhenti pada saat dan waktu jadwal yang ditentukan oleh sistem. Pun sama, para pimpinan persyarikatan semestinya menjalankan berdasarkan sistem yang sudah di tentukan, tidak sekehendak diri memberi kebijakan, tidak sekehendak diri memberi sanksi pada penggerak organisasi, dan juga tidak merasa diri berkuasa sehingga berbuat sekendak hati.

Dahulukan kepentingan penumpang dalam gerbong dimanapun mereka berhenti selama sesuai ketentuan yang sudah disepakati. Begitu pun di Muhammadiyah, berikan kesempatan bagi mereka untuk melakukan pengabdian pada organisasi selama mengikuti ketentuan organisasi yang sudah disepakati.

Hadir sebagai pengerak dan pengendali, bersikaplah rasional, logis, dan objektif penuh adil. Menjadi pimpinan bukan sekedar menjadi simbol seorang yang paling elit, seolah sebagai bangsawan Muhammadiyah merasa paling berhak menjadi pimpinan persyarikatan di level paling tinggi. Dengan embel-embel paling paham terhadap Muhammadiyah dengan garansi sekolah dan pesantren di Muhammadiyah, juga merasa paling lama menjadi anggota pimpinan persyarikatan, sementara yang di luar itu seolah di anggap kurang faham Muhammadiyah, bukan kader inti dan elit.

Di balik itu semu, pada kenyataannya hanya sebuah perilaku kesombongan dan keangkuhan yang menciptakan hubungan antarkader persyarikatan menjadi terbelah. Jauh untuk saling jaga dan kolaborasi, yang ada saling menjegal proses kepemimpinan di induk persyarikatan maupun pimpinan amal usaha.

Kondisi kepemimpinan persyarikatan Muhammadiyah, saat ini membutuhkan sosok-sosok berkarakater penggerak, pembaharu, pencerah, dan pemberdaya. Lokomotif gerakan dakwah Muhammadiyah senantiasa konsisten bergerak sesuai waktu yang ditentukan, melaju cepat sesuai tujuan yang dituju tepat waktu. Pola dan model gerakan Muhammadiyah sekalipun organisasi sudah tua dan besar, kecepatannya tidak kalah dengan mobil balap, besar dan panjang bisa cepat seperti kecepatan kereta, baik seperti kereta api maupun kereta listrik.

Malah apabila kepemimpinan Muhammadiyah menyadari dan memahami bahwa hari ini kebutuhan masyarakat sudah menanti pelayanan yang instan dan cepat, apalagi Jawa Barat dengan populasi warga sangat banyak dan teritori wilayah yang luas. Sehingga lokomotifnya menggunakan kereta cepat, bukan lagi kereta api. Walaupun sudah dipastikan akan memerlukan anggaran biaya cukup besar dan mahal, hal itu tidak masalah selama untuk kepentingan kemajuan persyarikatan Muhammadiyah. Wallahu’alam. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini