Memilih Masuk Surga Cara Muhammadiyah atau NU?

0
44
Dr Nurbani Yusuf MSi, dosen UMM, pengasuh komunitas Padhang Makhsyar. (AS/Klikmu.co)

Oleh: Dr Nurbani Yusuf MSi

KLIKMU.CO

Tahu kenapa NU pengikutnya banyak?

Karena promo di NU lebih menarik: masuk surga di NU itu mudah dan gampang.

Masuk surga di Muhammadiyah susah dan sulit.

Muhammadiyah menganut prinsip pahala terputus (kecuali tiga), sedangkan NU menganut pahala tidak terputus. Muhammadiyah menganut prinsip bahwa setiap orang mendapatkan pahala amal hanya dari apa yang diusahakannya sendiri, sedangkan NU menganut prinsip bahwa pahala amal bisa didapat dari usaha sendiri ditambah dengan kerja kolektif dan tanggung renteng sesama mukmin.

Dua prinsip ini sangat klasik dan riuh diperdebatkan—hingga hari ini dan mungkin entah sampai kapan.

Ini memang soal klasik dan keduanya jelas saling membantah. Bagi Muhammadiyah, nilai amal hanya dihitung dari hasil kerja individual bukan kolektif. Jadi, jangan harap ada kiriman doa dan pahala dari keluarga dekat, tetangga sebelah rumah,atau teman seperjuangan setelah meninggal kelak. Karena semua sudah terputus.

Bagi santri Muhammadiyah, prinsip “barang siapa mengerjakan amal kebajikan maka untuk dirinya sendiri dan seseorang tidak dapat memikul dosa orang lain” dipegang kukuh. Inilah salah satu prinsip puritanisme di samping ta’awun: kerja keras, kompetitif, hemat, suka membantu, dan suka memberi.

Belum ada kajian khusus apakah puritanisme di kalangan santri Muhammadiyah memiliki kemiripan dengan Protestan Ethics yang digagas Webber, satu sikap puritan yang melahirkan kapitalisme dan liberalisme di Eropa paruh pertama abad 20 kala itu.

Maka, pertanyaan mengemuka: benarkah cara beragama Muhammadiyah sangat individualistis? Bahkan cenderung egois sebab apa pun amal yang dilakukan cenderung berpulang pada dirinya sendiri. Sekencang apa pun pahala dikirm tidak bakal sampai demikian keyakinan tertanam.

Jargon berlomba-lomba berbuat bajik (fastabiqul khairat) dimaknai sebagai ikhtiar personal untuk mendapat banyak maslahat. Pun dengan prinsip sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lainnya (khairun nas anfa’ahum lin-nas) juga kurang lebih sama.

Yaitu, perbuatan-perbuatan individual yang diperuntukkan bagi banyak orang. Prinsip-prinsip puritanisme di kalangan santri Muhammadiyah memang melahirkan ghirah, semangat kompetitif, egaliter, dan menghapus kelas agama.

Karena itu, puritanisme juga menghapus hierarki kepatuhan, status sosial, dan keistimewaan nashab, sebab semua orang dilihat setara. Kedudukan seseorang dilihat dari ketakwaan sebagai representasi prestasi tertinggi—bukan atas dasar nashab atau keturunan.

Hal itu berbeda dengan fenomena keberagamaan umat Islam keseluruhan yang secara dialektik justru mengambil posisi berbalik. Di NU, misalnya, prinsip jamaai dan tanggung renteng demikian kental mewarnai persepsi teologis yang dibangun secara utuh.

Prinsip saling memberi syafaat misalnya, bahkan termasuk prinsip (khusushan Ila ruuhi) adalah ikhtiar saling berkirim pahala kebaikan dan permohonan, pemaafan secara kolektif agar bisa bergotong royong berbuat kebaikan dan masuk surga secara bersama. Di NU juga menganut prinsip pahala tidak terputus, menjadi sesuatu yang sangat menarik bahkan mungkin menjadi promo yang menggiurkan untuk mendapat banyak pengikut.

Artinya, tradisi NU dan Muhammadiyah ibarat dua mata uang terpisah meski punya irisan yang saling berkait. Sebab, prinsip merit sistem individualistis yang ditawarkan Muhammadiyah dan prinsip kolektif gotong royong yang ditawarkan NU adalah hal yang niscaya.

Antum tak perlu kawatir sebab kedua cara itu bersanad dan punya sandaran telogis kepada dua pusaka utama Al-Quran dan sunah sahihah. Pada akhirnya hidup memang pilihan. Dan mungkin saya Muhammadiyah, tapi bolehlah memilih masuk surga lewat cara NU. Wallahu taala a’lm. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini