Derajat Hadits Puasa Tarwiyyah [8 Dzulhujjah]

0
1205

Muqoddimah

clip_image002

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Alloh dan Rosulnya[1] dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

[1] Maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Alloh dan Rosul-Nya.

Sudah terlalu sering saya ditanya tentang puasa Tarwiyyah (tanggal 8 Dzulhijjah) yang biasa diamalkan oleh umumnya kaum muslimin. Mereka berpuasa selama dua hari yaitu pada tanggal 8 Dzulhijjah (hari Tarwiyyah) dan tanggal 9 Dzulhijjah (hari Arafah). Dan selalu pertanyaan itu saya jawab: Saya tidak/belum tahu! Karena memang saya belum menemukan/mendapatkan haditsnya yang mereka jadikan sandaran untuk berpuasa pada hari Tarwiyyah tersebut.

Alhamdulillah, akhirnya saya telah menemukan haditsnya yang lafadznya sebagai berikut:

صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَصَوْمُ يَوْمِ عَرفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ

Puasa pada hari Tarwiyyah menghapuskan (dosa) satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun.

Hadist tersebut tercantum dalam kitab Kanzul Ummal diriwayatkan Abusy Syaikh Al-Ashbahâny , dari jalur beliau diriwayatkan oleh Ibnu Qudamah dalam Fadhlu Yaum At-Tarwiyyah wa ‘Arafah no. 2 , Jami’ oleh Imam Suyuthi, diriwayatkan Ibnu Hibban dalam kitab Al-Tsawab. Juga diriwayatkan oleh : Abul Qâsim Al-Ashbahâny dalam At-Targhîb wa At-Tarhîb no. 370, Ibnul Jauzy dalam Al-Maudhû’ât 2/565 no.1137, dan diriwayatkan oleh Nashirudin al-Bani dalam Irwâ’ul Ghalîl 4/113- dan selainnya, semuanya dari jalur Ali bin Ali Al-Himyary dari Muhammad bin As-Sâ’ib Al-Kalby dari Abu Shâlih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhu secara marfu’.

Terdapat sejumlah cacat dalam hadits di atas:

Pertama, tentang Muhammad bin As-Sâ’ib Al-Kalby, Ibnul Jauzy berkata, “Sulaiman At-Taimy berkata, ‘Al-Kalby adalah seorang pendusta.’ Ibnu Hibbân berkata, ‘Kejelasan dusta pada (Al-Kalby) adalah lebih terang untuk digambarkan.’.” [Al-Maudhû’ât 2/566]

Ibnu Hajar berkata, “Muttaham Bil Kadzib ‘dituduh berdusta’.” Bahkan, dalam biografi Al-Kalby, terdapat sejumlah pernyataan tegas dari para imam Jarh wat Ta’dil bahwa Al-Kalby adalah seorang pendusta.

Secara spesifik pada jalur riwayat di atas, Al-Kalby telah berkata, “Apa-apa yang Saya riwayatkan dari Abu Shalih adalah dusta. Janganlah kalian meriwayatkan dariku.” [Tahdzîbut Tahdzîb dan selainnya]

Kedua, Abu Shâlih adalah bernama Bâdzâm maula Ummu Hâni`, dan hadits beliau lemah.

Ketiga, Ali bin Ali Al-Himyary adalah rawi yang majhûl. Biografinya terdapat dalam Al-Jarh wa At-Ta’dîl karya Ibnu Abi Hâtim, sedang Ibnu Abi Hâtim tidak menyebut jarh ‘celaan’ atau ta’dîl ‘rekomendasi’ terhadapnya.

Ada beberapa riwayat lain yang semakna dengan hadits di atas dari beberapa Sahabat Nabi:

1. Hadits Jâbir yang diriwayatkan oleh An-Najjar dalam Târîkh-nya sebagaimana dalam Kanzul ‘Ummâl dan selainnya. Dalam sanad tersebut, terdapat seorang rawi pendusta dan pemalsu hadits, sebagaimana keterangan Al-Mu’allimy dalam ta’lîq beliau terhadap kitab Al-Fawâ’id Al-Majmû’ah.

2. Hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Ibnu Jauzy dalam Al-Maudhu’at no. 1136. Ibnul Jauzy menyebutkan bahwa Muhammad Al-Muhrim, yang ada dalam sanad hadits ini, adalah manusia yang paling pendusta.

Juga diriwayatkan oleh Imam Dailami di kitabnya Musnad Firdaus (2/248) dari jalan:

1. Abu Syaikh dari :
2. Ali bin Ali Al-Himyari dari :
3. Kalbiy dari :
4. Abi Shaalih dari :
5. Ibnu Abbas marfu’ (yaitu sanadnya sampai kepada Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam)

Sanad hadits ini mempunyai dua kelemahan:

Pertama, Kalbiy (no. 3) yang namanya : Muhammad bin Saaib Al-Kalbiy. Dia ini seorang rawi pendusta. Dia pernah mengatakan kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Apa-apa hadits yang engkau dengar dariku dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas, maka hadits ini dusta” (Sedangkan hadits di atas Kalbiy meriwayatkan dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas).

Imam Hakim berkata : “Ia meriwayatkan dari Abi Shaalih hadits-hadits yang maudlu’ (palsu)” Tentang Kalbiy ini dapatlah dibaca lebih lanjut di kitab-kitab Jarh Wat Ta’dil di bawah ini:

1. At-Taqrib 2/163 oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar
2. Adl-Dlu’afaa 2/253, 254, 255, 256 oleh Imam Ibnu Hibban
3. Adl-Dlu’afaa wal Matruukin no. 467 oleh Imam Daruquthni
4. Al-Jarh Wat Ta’dil 7/721 oleh Imam Ibnu Abi Hatim
5. Tahdzibut Tahdzib 9/5178 oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar

Kedua,
Ali bin Ali Al-Himyari (no. 2) adalah seorang rawi yang majhul (tidak dikenal).

Jadi hadits ini adalah hadits yang dloif (lemah) bahkan maudlu’ (palsu).

Adapun hadist lain tentang puasa Tarwiyyah, yaitu:

صَوْمُ يَوْمَ التَّرْوِيَّةِ كَفَارَةُ سَنَة

Puasa pada hari Tarwiyyah (8 Dzulhijjah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu.

Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih.[Lihat Al Mawdhu’at, 2/565, dinukil dari http://dorar.net]

Asy Syaukani mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih dan dalam riwayatnya ada perowi yang pendusta.[Lihat Al Fawa-id Al Majmu’ah, hal. 96, dinukil dari http://dorar.net]

Syaikh Nashirudin Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah). [Lihat Irwa’ul Gholil no. 956]

Jadi sangat kuat pendapat ulama yang mengatakan bahwa tidak disunnahkan puasa Tarwiyyah (tanggal 8 Dzulhijjah) karena melihat hadist-hadits di atas adalah hadits dloif (lemah), bahkan ada yang mengatakan haditsnya maudlu’ (palsu).

Kesimpulan:

1. Puasa Tarwiyyah (8 Dzulhijjah) adalah hukumnya tidak disyariatkan, yakni bid’ah. Karena hadits yang mereka jadikan sandaran adalah hadits dlaif atau maudlu’/palsu yang sama sekali tidak boleh dibuat sebagai dalil. Jangankan dijadikan dalil, bahkan membawakan hadits maudlu’ bukan dengan maksud menerangkan kepalsuannya kepada umat, adalah hukumnya haram dengan kesepakatan para ulama.

2. Puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) adalah disyaritakan, yakni hukumnya sunah sebagaimana sabda Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

… Dan puasa pada hari Arafah –aku mengharap dari Alloh- menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan datang. Dan puasa pada hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram) –aku mengharap dari Alloh menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu. [Shahih riwayat Imam Muslim (3/168), Abu Dawud (no. 2425), Ahmad (5/297, 308, 311), Baihaqi (4/286) dan lain-lain]

Kata ulama: Dosa-dosa yang dihapuskan di sini adalah dosa-dosa yang kecil.

Wallohu a’lam.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini