Hardiknas 2024: Kolaborasi Menuju Kebermaknaan Pendidikan

0
81
Andi Hariyadi, Ketua Majelis Pustaka, Informatika, dan Digitalisasi PDM Surabaya, Pemred Klikmu.co. (Dok Pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Drs Andi Hariyadi MPdI

KLIKMU.CO

Akses pendidikan di masa kolonial penjajahan sangat terbatas sehingga warga bangsa benar-benar tercengkeram dalam penderitaan yang berkepanjangan. Para penjajah sangat paham akan pentingnya pendidikan untuk membuka wawasan, kesadaran, dan perubahan sehingga akses pendidikan sangat dibatasi. Hanya kalangan tertentu yang bisa mengenyam dunia pendidikan, sedangkan yang lainnya tetap dikondisikan tidak berpendidikan atau berpendidikan dalam keterbatasan dan diskriminatif.

Penjajah tidak ingin ada perubahan dalam penguasaan wilayah Indonesia yang begitu luas dan melimpahnya sumber daya alamnya. Kekayaan alam untuk kebutuhan penjajah, sedangkan rakyat tetap menderita dalam kemiskinan dan kebodohan sehingga mudah diadu domba dipecah belah untuk kepentingan penjajah. Penjajah Belanda yang kemudian berlanjut Jepang benar-benar mendapatkan banyak kekayaan dari bangsa Indonesia sehingga sumber dayanya unggul dan sejahtera, sedangkan bangsa Indonesia masih tertatih-tatih menuju keunggulan dan kesejahteraan.

Sejarah perintisan pendidikan modern di Indonesia tidak bisa lepas dari peran KH Ahmad Dahlan ( 1 Agustus 1868-23 Februari 1923) sebagai pendiri Muhammadiyah (18 November 1912) yang berkedudukan di Yogyakarta dan Ki Hajar Dewantara (2 Mei 1889-26 April 1959) sebagai pendiri Taman Siswa (2 Juli 1922).

KH Ahmad Dahlan setahun sebelum mendirikan Muhammadiyah lebih dahulu mendirikan sarana pendidikan sekolah agama modern berupa Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah pada 1 Desember 1911. Berarti sekitar sepuluh tahun lebih sebelum berdirinya Taman Siswa pendidikan Muhammadiyah memulai menebar akses pendidikan. Meski proses pendidikan yang masih sederhana, tetapi begitu kuat pengaruhnya dalam menapaki perubahan sekaligus menginspirasi pentingnya pendidikan yang selama ini dibatasi.

Demikian pula Ki Hajar Dewantara yang begitu prihatin akan kondisi anak bangsa yang kesulitan mendapatkan pendidikan sehingga upaya penguatan pendidikan dimaksimalkan bagi putra-putri bangsa.

Kolaborasi berjuang melalui pendidikan antara Muhammadiyah dan Taman Siswa di antaranya dalam bentuk: 1) Perluasan akses pendidikan, hal ini sangat diperlukan untuk dapat melahirkan generasi yang luas wawasan dan berkepribadian; 2) Sebagai upaya transfer pendidikan secara utuh dan terintegrasikan sehingga memiliki karakter keunggulan dan religius; dan 3) Penumbuhan embrio nasionalisme dan patriotisme bagi peserta didik untuk melanjutkan perjuangan mewujudkan kemerdekaan.

Kolaborasi pendidikan membuka jejaring pendidikan meluas ke berbagai daerah, sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah, berperang menggunakan ilmu dari proses pendidikan merupakan senjata yang efektif menguatkan persatuan.

Pesan KH Ahmad Dahlan dalam dakwahnya di antaranya menyampaikan Al-Qur’an surah Ali Imran 142, yang artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.”

Ayat ini begitu menyadarkan kepada kita untuk jangan merasa sudah cukup dalam berjuang sehingga mengharapkan surga karena masih banyak yang harus dilakukan dengan berjihad dan sabar akan meraih kesuksesan. Maka, para kader Muhammadiyah begitu tergugah untuk menggerakkan dakwah baik di bidang keagamaan, pendidikan, maupun sosial.

Ki Hajar Dewantara dalam menguatkan proses pendidikan sering menyampaikan pesannya yang terkenal, yaitu: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Artinya: Dimulai dari diri sendiri, melanjutkan dengan membangun semangat, memberikan contoh yang baik bagi orang lain”.

Jati diri harus kokoh menguatkan kompetensi diri sekaligus mampu menjadi teladan yang baik sehingga melalui pendidikan mampu menghadirkan sosok generasi bangsa yang unggul dan mampu berkontribusi untuk bangsanya.

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang mengambil hari kelahiran Ki Hajar Dewantara, meski ada yang mempertanyakan mengapa bukan kelahiran tokoh yang lainnya tidak perlu diperdebatkan berkepanjangan. Justru tantangan ke depan di dunia pendidikan itu yang harus dijawab agar generasi emas bangsa ini benar-benar tampil dengan keunggulan baik dari sisi akademik, profesi, spiritual, akhlak terpuji, dan lainnya di tengah derasnya erupsi informasi dan produk digitalisasi sehingga melalui pendidikan diharapkan mampu survive dalam tantangan ke depan yang lebih kompleks.

Fuad Hasan menyatakan, manusia disebut sebagai “animal educundum”, makhluk yang dididik, dan “animal educundus”, sebagai makhluk yang mendidik. Maka, proses pendidikan saat ini diharapkan bisa mewujudkan pendidikan yang keberlanjutan, dari peserta didik menjadi pelaku pendidikan untuk mengisi peradaban di zamannya. Pendidikan di negeri ini butuh sentuhan yang lebih berdaya, bukannya terus terbelenggu administrasi tanpa menemukan ide-ide pembaharuan untuk proses pendidikan.

Malik Fadjar menyampaikan, pendidikan di Indonesia masih lambat dalam menghadapi perubahan global, meskipun era globalisasi telah menjadi kenyataan yang tidak dapat diabaikan. Desain pendidikan nasional diharapkan mampu menjadi agen perubahan dalam menyikapi perubahan global. Pendidikan bukan menjadi sumber permasalahan, tetapi mampu memberi solusi atas perkembangan yang ada.

Kolaborasi pendidikan kekinian menjadikan lembaga pendidikan sebagai mitra pendidikan untuk bersama meluruskan arah pendidikan, menjadikan guru sebagai pendidik yang memiliki akses pendidikan lebih luas, tidak terjebak dalam teks yang kedaluwarsa, tetapi mampu berkarya dengan teks yang terus di-update sesuai konteks yang dinamis. Peserta didik diberi kesempatan memperluas sumber belajar sesuai keragaman kemampuan, bukan menjadi objek penderita, tumbuhkan potensi untuk berprestasi dengan karya keunggulan.

Pendidikan Muhammadiyah dengan akses dan jejaring yang mengglobal harus mampu memberi keteladanan untuk berkolaborasi menguatkan pendidikan yang berkemajuan sekaligus berkompeten dalam pengembangan teknologi yang terintegrasi dengan nilai-nilai spiritual agar menjadi manusia yang seutuhnya.

Malik Fadjar kembali mengingatkan bahwa pendidikan adalah proses humanisasi atau pemanusiaan manusia. Maka, kolaborasi pendidikan untuk menyelamatkan manusia dan mengokohkan kehidupan manusia, proses penyelamatan dari upaya menghilangkan nilai kemanusiaan akibat pengaruh kompleksitas gaya hidup yang cenderung menghilangkan etika, dan mengokohkan karakter diri untuk ketangguhan aktivitas kehidupan manusia.

Kolaborasi pendidikan mampu memberi makna hidup untuk sadar sebagai insan terdidik yang mampu berkarya sebagai khalifah di muka bumi untuk amal salehnya. Kebermaknaan pendidikan menjadikan pribadi yang penuh tanggung jawab, peran apa yang dilakukan menjadi pertimbangan sukses dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Capaian pendidikan tidak terjebak dengan nilai angka yang hampa makna yang mudah direkayasa, tetapi capaian kebermaknaan untuk terus memberikan yang terbaik (berfastabiqul khairat). Model pendidikan hari ini akan menjadi gaya hidup masa depan nanti, maka terus bangun sinergi untuk pendidikan yang lebih berarti.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2024!

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini