Ke Manakah Ideologi Muhammadiyah Bergeser?

0
1577
Kiai Nurbani Yusuf (foto pribadi)

Oleh: Nurbani Yusuf

KLIKMU.CO

Prof Din benar ketika mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah federasi pemikiran. Bahkan bukan hanya pemikiran, tapi juga federasi ideologi saya bilang. Sebab itu, tidak sepenuhnya salah jika ada yang bilang bahwa Muhammadiyah itu Wahabi, Salafi, HTI, bahkan terakhir FPI sebab realitasnya memang ada bahkan tumbuh dan berkembang.

***

Meski sudah hampir setengah abad menjadi aktivis Persyarikatan, jujur saya masih belum final menemukan ideologi yang bisa dipahami utuh. Apakah Wahabi atau Dahlaniyah. Puritan atau Tajdid. Tarbiyah atau Salafi. Miring ke kanan atau ke kiri. Selain daripada: Islam Berkemajuan. Yang terdengar sayup-sayup di permukaan.

Berbeda dengan NU yang tegas: Kalam bermazhab pada Al Asy’ary dan Al Maturidy. Fikih pada mazhab Imam empat. Tasawuf pada Imam Ghazali. Trisula yang kemudian dikenal dengan konsep Aswaja. Dan Aswaja tentu berbeda sangat jauh dengan kemuhammadiyahan 1 SKS yang diajarkan selama satu semester di sekolah-sekolah kita pada jam terakhir. Jadi, jangan heran jika kitab Shifat Shalat Nabi karya Syaikh Al Al Bani lebih memikat ketimbang Himpunan Putusan Tarjih atau MKCH karya para alim di Muhammadiyah yang perlahan dilupakan.

Kadang Muhammadiyah itu Salafi, kadang juga Wahabi, meski ditolak dengan berbagai dalih bahwa bukan Wahabi, juga bukan Salafi. Tapi siapa bisa bedakan akidah yang dipahami Muhammadiyah dengan akidah yang dipahami Wahabi tentang Rubbubiyah, Uluhiyah, dan Ubudiyah dalam kitab risalah tauhid yang divonis sesat oleh Muhammad Rizieq Syihab. Begitu pula dalam aspek fikih, apakah bisa dibedakan antara Muhammadiyah dan Salafi dalam hal tata cara salat, wudu, haji, dan ibadah mahdhah lainnya.

***

Bukankah hampir semua kita belajar tentang kitab Risalah Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan kitab Shifat Shalat Nabi karya Syaikh Al Al Bani? Lantas apa bedanya jika hanya packaging saja yang beda? Kalau semangat produk akidah dan fikihnya sama?

Bukankah kita juga punya jargon yang sama: kembali pada Al Quran dan As Sunah. Jargon ini bersifat mujmal dan terbuka bagi siapa pun untuk bisa masuk: Kita adalah Muhammadiyah meski dengan manhaj dan ideologi yang berbeda-beda.

Risiko tidak bermazhab juga bermakna menerima semua mazhab. Inilah yang kemudian kerap menjadi polemik yang tak kunjung padam. Keterbukaan ideologi Muhammadiyah adalah kekuatannya sekaligus kelemahannya. Migrasi ideologi tengah berlangsung: dari inklusif ke ekslusif, dari modern ke jumud, dari tajdid ke puritan, dari moderat ke radikal ekstrem, dari multikultur ke sektarian, dari kooperatif ke nonkooperatif antirezim.

***

Kritik ideologi persyarikatan ini menjadi urgen di tengah centang perenang konflik feneomenologis yang berkembang dinamis.
Lantas ideologi Muhammadiyah itu apa? Ini memang pertanyaan tabu, tapi saya harus jujur bertanya di tengah centang perenang pergumulan Ideologi di Persyarikatan terutama menjelang dan usai Pilpres 2019 yang melelahkan.

Banyak yang gelisah melihat beberapa pernyataan dan sikap beberapa pimpinan dan jamaah menghadapi fenomena atau kasus kasus politik, ekonomi, sosial, dan soal humanitas lainnya. Ada yang puritan, ada yang radikal, bahkan wasathiyah hanya terdengar di permuakaan. Semua terlihat dalam berbagai persepsi.

Apakah riuh gerakan aksi bela Islam bagian dari girah atau politisasi. Apakah boikot terhadap Starbucks, Indomaret, dan Alfamart adalah sikap wasathiyah. Apakah sikap anti-China antimodernisasi adalah Dahlaniyah. Apakah fatwa haram rokok itu bukan Wahabi? Apalah khilafah bukan HTI. Bahkan FPI dianggap menjadi kanal paling pas untuk menyuarakan kebuntuan politik praktis aktivis Persyarikatan yang selama ini dipasung. Dan banyak pertanyaan lainnya.

***

Migrasi ideologi di tubuh Persyarikatan tidak hanya bersifat fisik, tapi juga bermakna pada perubahan mainstream. Mungkin bajunya masih bersimbol matahari, tapi mungkin saja isinya telah berubah dan berwarna lain: bersimbol bendera tauhid atau berubah kuning kehitaman atau bahkan bersimbol pedang disilang, semua serbaniscaya sebab ideologi memang tak pernah bisa disandera.

Wallahu taala a’lam.

@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini