Modernitas Minus Kepercayaan pada Hukum Sebab Akibat

0
67
Suyoto alias Kang Yoto, mantan Bupati Bojonegoro. (beritabojonegoro.com/)

Oleh: Suyoto (Kang Yoto)

Dalam perbincangan tentang  fakta sosial menarik dan berdampak pada kehidupan, bersama kolega FISIP UB di Malang, sosiolog Unair Daniel Sparingga punya cerita menarik. Dalam suatu kesempatan ia bertemu dengan pekerja sosial asing yang telah puluhan tahun bekerja di ladang sosial Indonesia. Kepadanya ditanyakan hal unik tentang masyarakat  Indonesia. Jawabannya sungguh menarik: orang Indonesia hidup modern, namun ada satu prinsip modernitas yang tidak sepenuhnya diadopsi, yaitu hukum sebab akibat.

Kesimpulan sederhana itu sepertinya menemukan pembenarnya dalam banyak peristiwa sosial. Dalam konteks pemilu, misalnya,ketidaksambungan antara pertimbangan pilihan publik terhadap calon wakil atau pemimpinnya dengan harapannya sendiri  (publik) bisa menjadi contoh aktual. Keadilan, kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan, serta pembangunan berkelanjutan menjadi dambaan semua. Begitu juga harga sembako terjangkau dan ketersediaan lapangan kerja. Hal ini bisa terwujud jika para pengelola negara kompeten dan berintegritas.

Pemilu adalah sarana menyeleksi para calon untuk dipilih yang terbaik. Semakin tinggi dan masifnya politik uang menjelaskan absennya hukum sebab akibat.  Sulit sekali menemukan fakta relasi antara kenyataan kehidupan publik, kualitas program dan kebijakan publik, harapan masa depan dengan pilihan kandidat dalam pemilu. Mengapa hal ini terjadi? Bagaimana memperbaikinya?

Berikut beberapa faktor yang dapat memengaruhi mengapa orang Indonesia cenderung lemah dalam mengadopsi hukum sebab akibat dalam kehidupan nyata.

1. Pendidikan dan Literasi

Kualitas pendidikan yang bervariasi di seluruh Indonesia dapat memengaruhi pemahaman tentang konsep-konsep ilmiah dan logika, termasuk hukum sebab akibat. Pendidikan yang tidak merata dapat membuat pemahaman ini tidak konsisten di seluruh masyarakat.

2. Budaya dan Tradisi

Budaya dan tradisi yang kuat dapat memengaruhi cara pandang seseorang terhadap realitas. Dalam beberapa kasus, kepercayaan tradisional atau spiritual mungkin lebih dominan dibandingkan pemahaman ilmiah tentang sebab akibat.

3. Pengaruh Sosial

Pengaruh keluarga, teman, dan masyarakat sekitar dapat memainkan peran besar dalam cara seseorang memahami dan menerapkan hukum sebab akibat. Jika lingkungan sosial cenderung tidak menghargai pemikiran kritis, hal ini dapat memengaruhi individu.

4. Kepercayaan pada Hal Gaib

Tingginya tingkat kepercayaan pada hal-hal mistis atau supranatural di sebagian masyarakat Indonesia dapat menggantikan pemahaman yang rasional tentang sebab akibat.

5. Pengalaman Pribadi

Pengalaman hidup individu juga memengaruhi cara mereka melihat hubungan sebab akibat. Jika seseorang sering mengalami situasi di mana hasil tidak sesuai dengan tindakan yang diambil, mereka mungkin menjadi skeptis terhadap konsep tersebut.

6. Ketidakpercayaan pada Sistem

Jika ada ketidakpercayaan yang mendalam terhadap sistem hukum, pemerintahan, atau institusi lain, orang mungkin merasa bahwa hukum sebab akibat tidak selalu berlaku dalam konteks sosial dan politik.

7. Akses Informasi

Kurangnya akses informasi yang akurat dan terpercaya bisa membuat masyarakat sulit memahami hubungan sebab akibat yang benar. Informasi yang salah atau disinformasi dapat membentuk pandangan yang keliru.

Untuk meningkatkan pemahaman tentang hukum sebab akibat, penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan, mendorong pemikiran kritis, dan memperkuat akses terhadap informasi yang akurat dan berbasis ilmiah. Sikap kritis ini bukan hanya ditujukan untuk praktek kehidupan publik namun juga pada Keyakinan, dogma, asumsi dan nilai yang hidup dalam diri sendiri.

Jakarta, 7 juni 2024

Suyoto (Kang Yoto)
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Gresik, mantan bupati Bojonegoro

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini