Kapankah Lailatul Qodr, Tafsir al-Azhar Prof. Hamka

0
1346

[Tafsir al-Azhar, Juz 30, Surat al-Qodr, Prof. Hamka]

[Ringkasan] Dengan keterangan 3 ayat Lailatul-Qadr, ditambah 3 ayat pembuka dari Surat ad-Dukhkhan teranglah bahwa Malam Lailatul-Qadr itu adalah malam mula turunnya al-Quran.

Bilakah masa Lailatul-Qadr itu? Al-Quran telah menjelaskannya lagi. Di dalam Surat 2, al-Baqarah ayat 185 jelas bahwa “Bulan Ramadhan adalah bulan yang padanyalah diturunkan al-Quran, menjadi petunjuk bagi manusia, dan keterangan-keterangan dari petunjuk itu dan pemisah, di antara yang hak dengan yang batil.

Tetapi menjadi perbincangan panjang lebar pula di antara ahli-ahli Hadis dan riwayat, malam apakah yang tepat Lailatul-Qadr itu? Sehingga di dalam kitab al-Fathul-Bari syarah Bukhari dari Ibnu Hajar al-Usqallani yang terkenal itu, disalinkan tidak kurang dari 45 qaul (perkataan) tentang malam terjadinya Lailatul-Qadr, masing-masing menurut pengalaman dengan catatan Ulama-ulama yang merawikannya, sejak dari malam 1 Ramadhan sampai 29 atau 30 Ramadhan.

Ada riwayat dalam Hadis Bukhari bahwa tentang malam berapa yang tepat telah lupa oleh Rasulullah SAW. Oleh sebab itu dianjurkanlah supaya setiap malam bulan Ramadhan itu diramaikan dan diisikan penuh dengan ibadat.

Terdapat juga riwayat bahwa Lailatul-Qadr itu ialah pada malam sepuluh yang akhir dari Ramadhan, artinya sejak malam 21. Karena sejak malam 21 itu Nabi SAW lebih memperkuat ibadatnya daripada malam-malam yang sebelumnya, sampai beliau bangunkan kaum keluarganya yang tertidur.

Abdullah bin Masud, dan asy-Sya’bi dan al-Hasan dan Qatadah berpendapat bahwa malam itu ialah malam 24 Ramadhan, karena ada Hadis dari Wastilah bahwa al-Quran diturunkan pada 24 Ramadhan. Suatu riwayat lagi dari as-Sayuthi, yang kemudian sekali dikuatkan oleh Syaikh Khudhari, Guru Besar pada Fuad I University (1922), jatuhnya ialah pada 17 Ramadhan, berdasarkan ayat 41 dari Surat al-Anfal karena di sana tersebut “Hari bertemu dua golongan” ialah dalam peperangan Badar, pada 17 Ramadhan.

Kita pun dapatlah memahamkan bahwa ini pun adalah hasil ijtihad, bukan suatu nash qath’i yang pasti dipegang teguh, sebab Nabi SAW menyuruh memperhebat ibadat setelah 10 yang akhir, bukan pada malam 17 Ramadhan.

Menurut keterangan di dalam Fathul-Bari juga, setengah Ulama berpendapat bahwa Malam Lailatul-Qadr yang sebenarya itu hanyalah satu kali saja, yaitu ketika al-Quran mulai pertama turun itu. Adapun Lailatul-Qadr yang kita memperbanyak ibadat pada tiap malam hari Bulan Ramadhan itu, ialah untuk memperteguh ingatan kita kepada turunnya al-Quran itu. Sudah terang malam itu pasti terjadi dalam bulan Ramadhan. Kita hidupkan malam itu, mengambil berkat dan memperbanyak syukur kepada Allah karena bertepatan dengan malam itulah al-Quran mulai diturunkan Allah. Berdiri mengerjakan sembahyang di seluruh malam Ramadhan pastilah salah satu bertepatan dengan malam turunnya al-Quran.

Ada juga yang mengatakan bahwa Malam Lailatul-Qadr itu dapat disaksikan dengan kejadian yang ganjil-ganjil. Misalnya air berhenti mengalir, pohon kayu runduk ke bumi dan sebagainya. Semuanya itu adalah hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut ilmu agama yang sebenarnya.

Heran dan kagumlah saya dengan orang tua saya, Syaikh Yusuf Amrullah seketika saya menziarahi beliau pada 10 April 1972. Beliau menyatakan pendapatnya yang sesuai dengan pendapat Ulama yang disalinkan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar tadi, bahwa Lailatul-Qadr yang sebenamya hanya sekali, yaitu ketika mula-mula al-Quran diturunkan. Yang kita perkuat berbuat ibadat di dalam bulan puasa menunggu Lailatul-Qadr itu ialah memperingati dan memuliakan malam Quran pertama turun itu. Kita kenangkan tiap tahun, agar kita bertambah teguh memegang segala yang dituntunkan Tuhan di dalam al-Quran. Saya menjadi kagum, karena sudah lama mata beliau tidak dapat melihat kitab-kitab lagi.

Ada juga terdapat beberapa perkataan mengatakan bahwa Lailatin-Mubaarakatin, malam yang diberi berkat itu bukanlah Lailatul-Qadr, melainkan malam Nisfu Sya’ban. Tetapi dalam penyelidikan terhadap sumber agama yang sah, yaitu al-Quran dan al-Hadis yang shahih, tidaklah bertemu sumber­nya. Riwayat tentang Nisfu Sya’ban itu tidaklah dapat dipegang, sanad-sanad ambilannya kacau-balau, riwayatnya banyak yang dha`if, bahkan ada yang dusta. Oleh sebab itu tidaklah dapat dijadikan dasar untuk dijadikan akidah dan pegangan. [Sekian]

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini