Tipe-Tipe Kepemimpinan di Tubuh Muhammadiyah

1
3894

Oleh: Silwana Mumthaza SSi *)

KLIKMU.CO

Sebagai salah satu organisasi di Indonesia, Muhammadiyah menggunakan dasar modern karena menggunakan metode organisasi. Muhammadiyah menggunakan gerakannya berkiblat pada ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadist. Realisasi dalam gerakan ini teCerminkan dalam beberapa program dan aktivitas organisasi.
Beberapa pemimpin Muhammadiyah memiliki karakteristik bervariasi. Masing-masing pemimpin memiliki langkah dan variasi formulasi serta aktivitas organisasi. Semua pemimpin Muhammadiyah memiliki tantangan dan persoalan yang dihadapi pada masa kepemimpinan. Gaya kepemimpinan seorang pemimpin berasal dari individu yang bertujuan untuk menjaga dinamika organisasi. Idealized Influence Charisma, Inspirational Motivation, Intellectual Stimullation, Individual Consideration (Suminto, 2016).

Max Weber menyatakan bahwa tiga pola kepemimpinan umumnya terbagi dari 3 jenis yaitu 1) kepemimpinan tradisional sebagai pola kepemimpinan warisan dan diturunkan, 2) kepemimpinan karismatik dengan pola menggunakan wibawa dan sikap seorang pemimpin dan, 3) kepemimpinan legal rasional yang mengandalkan pada ketrampilan dan kreativitas individu (Kosasih & Kosasih, 2010).

Abdurrahman Wahid menyatakan tentang dua kategori pemimpin umat Islam di Indoneisa, yaitu 1) pemimpin yang mengutamakan penguasaan ilmu keagamaan, 2) pemimpin yang mengutamakan kemampuan berorganisasi (Kosasih & Kosasih, 2010)
KH Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta 01 Agustus 1873 dengan nama kecil yaitu Muhammady Darwis. Ayah beliau adalah putra dari KH Abu Bakar Bin Sulaiman, seorang ulama dan khatib di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta. Ibu beliau adalah putri dari H Ibrahim seorang Penghulu Kasultanan. Dalam perjalanan kehidupannya, KH Ahmad Dahlan merupakan pendiri dan pemimpin suatu organiasi Muhammadiyah yang bertempat di Yogyakarta tahun 1912.

Dalam catatan sejarah, KH Ahmad Dahlan mengamati beberapa masjid di Pulau Jawa, termasuk Masjid Agung Yogyakarta yang menghadap barat tepat. Setelah adanya pencocokan ilmu falak yang dipelajarinya dibantu dengan kompas dan peta dunia, beliau berpandangan bahwa arah shalat harus direkonstruksi bergeser 24 derajat menuju arah kiblat. Hal ini sejalan dengan catatan Kyai Syuja’. Selama kurang lebih setahun beliau melakukan dialog-diaolog mengenai rekonstruksi arah kiblat ini. Puncaknya ketika K.H. Ahmad Dahlan mengumpulkan para ulama untuk membahas permasalahan kiblat ini di Yogyakarta. Namun hasil musyawarah tersebut tidak menghasilkan sebuah keputusan secara mufakat karena pro dan kontra mengenai rekonstruksi arah kiblat tersebut. Kepemimpinan dalam sikap Idealized Influence Charisma dan Intellectual Stimullation (Suminto, 2016), perpaduan antara pemikiran dan sikap yang dimiliki oleh K. H. Ahmad Dahlan mampu menggugah dan menarik hati pemuda-pemuda yang senantiasa menguping pembahasan arah kiblat tersebut yang juga merupakan kerabat kepala penghulu keraton (Sakirman, 2012).

Terjadilah insiden perubahan garis shaf pada masjid agung Yogyakarta ketika itu atas dasar inisiatif mereka sendiri tanpa adanya perintah dan keterkaitannya K. H. Ahmad Dahlan. K. H. Ahmad Dahlan sebagai pribadi yang memiliki jiwa kepemimpinan transformatif dan berpikir secara inklusif relativis (Mulkhan, 2010) dalam artian memahami bahwa dibutuhkannya jiwa sportif dan universal yang mungkin bernilai positif pada orang lain, sehingga K. H. Ahmad Dahlan menerapkan arah kiblat dengan cara membuat garis shaf pada Langgar Kidul (Sakirman, 2012).

Beberapa strategi yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan sebagai perjuangannya jauh sebelum adanya organisasi diantaranya adalah (1) pertama, Beliau menjadi pendidik atau guru agama di Kweekschool Gubernamen Jetis milik Belanda. Hal tersebut dikatakan unik karena pada saat itu perjuangan beliau bersifat Rival Moderat (Rasid, 2018) yang mengakui pemerintahan Hindia Belanda. Dalam kegiatan sehari hari Beliau tidak melakukan pertentangan terhadap penjajahan kolonial Belanda. Namun Beliau tidak memihak Belanda namun pola pemikiran KH Ahmad Dahlan memperhatikan kaum yang tertindas kala itu. (2) Kedua, bergabungnya beliau dengan organisasi Budi Utomo dengan tujuan memasukkan agama dalam organisasi tersebut dan mendorong beliau membentuk sekolah Islam. (3) ketiga bergabungnya beliau dengan Syarikat Islam dan Jami’atul Khair. (4) Keempat melakukan tabligh dan lawatan di berbagai daerah untuk kembali pada ajaran Al-Qur’an dan As Sunnah dan menghindari perilaku yang mengarah pada syirik, khurafa’at dan tahayul. Beberapa perjuangan tersebut mendasari KH Ahmad Dahlan mendirikan wadah pergerakan beliau sendiri yaitu Muhammadiyah.

Awal berdirinya Muhammadiyah dilakukan sebagai rasa keprihatinan KH Ahmad Dahlan dengan kondisi masyarakat Kauman Yogyakarta yang belum sejahtera dan berpendidikan. Beberapa langkah yang dilakukan Beliau adalah : pertama: K. H. Ahmad Dahlan mengurus organisasi secara legal dengan mengajukan surat permintaan badan hukum kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Statuten Muhammadiyah digunakan sebagai bentuk pengakuan adanya wadah perkumpulan Islam Pribumi . Pemberian izin secara tertulis melalui Besluit Gubernur Jenderal No. 81 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 22 Agustus 1914 (Febriyanto, 2017). Ijin organisasi yang dikeluarkan oleh kolonial ini baru hanya sebatas wilayah Yogyakarta saja.Kedua: dikarenakan waktu itu masih fase pengenalan pembaharuan Muhammadiyah, K. H. Ahmad Dahlan banyak melakukan silaturahmi, munaqasyah/diskusi ilmiah, taushiyah, serta memberikan keteladanan dalam praktek pengamalan agama Islam.ketiga: terbentuknya perangkat awal dalam tubuh Muhammadiyah seperti, pembentukan majelis tabligh, majelis sekolahan dan pengajaran (sekarang menjadi majelis pendidikan dasar dan menengah), majelis taman pustaka, dan majelis penolong kesengsaraan umum,‘aisyiyah, gerakan kepanduan Hizbul Wathan, menerbitkan majalah SuaraMuhammadiyah, selain itu pula mendirikan panti asuhan yatim/piatu.
Beliau melakukan gerakan kepedulian sosial yang berlandaskan semangat QS Al Maun. Beberapa bentuk kegiatan anatara lain menyantuni anak yatim, dan miskin di Lingkungan sekitar. Selain itu beliau mendirikan sekolah Muhammadiyah dan sekolah khusus calon guru dengan pembelajaran yang memadukan ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Selain itu beliau memproyeksikan bidang kesehatan dengan membangun rumah sakit Muhammadiyah.

Organisasi Muhammadiyah sebagai suatu pergerakan tentu dipimpin oleh beberapa kepemimpinan yang memiliki pola kepemimpinan tertentu (Kosasih & Kosasih, 2010). Pola kepemimpinan Muhammadiyah di awal pergerakan pada tahun 1912 – 1990 (K.H. Ahmad Dahlan – K.H. A.R. Fachruddin) memiliki pola pemimpin kharismatik. Pola kepimpinan ini memiliki kekhasan adanya wibawa personalitas. Kewibawaan ini muncul karena faktor lingkungan diantaranya faktor sebagai pendiri organisasi, penguasaan ilmu agama dan peran selama ini di organisasi. Selain itu masa ini memiliki kecenderungan bersifat Ulama Intelek. Beliau merupakan para ulama dan beliau memiliki wawasan di bidang intelektual, walaupun bukan para akademisi.

Kepemimpinan Muhammadiyah di tahun 1990 – 2020 (masa K.H A.Azhar Basyir, MA – Prof. Dr. Din Syamsudin) memiliki tipe dan pola kepemimpinan cenderung Legal-rasional. Beliau memiliki gaya kepemimpinan berdasarkan faktor keahlian, ketrampilan atau skill dalam memimpin. Beliau memiliki kecenderungan bersifat Intelektual ulama. Pada masa tersebut Muhammadiyah dipimpin oleh para intelektual. Disebut intelektual ulama dikarenakan mereka akademisi yang memiliki wawasan keagamaan yang mumpuni. K.H A.Azhar Basyir, MA dan Dr. H.M. Amien Rais, M.A adalah dosen di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Prof. Dr. A. Syafii Maarif adalah dosen di Universitas Negeri Yogyakarta (dulu IKIP Negeri Yogyakarta), sedangkan Prof. Dr. Din Syamsudin adalah dosen di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

Kepemimpinan Muhammadiyah di perkembangan awal bersifat kharismatik dan ulama intelek karena berdasarkan kewibawaan personal dalam diri yang tersemat dengan kewibawaan ulama. Pada perkembangannya Muhammadiyah dipimpin oleh personal yang bersifat legal rasional dan Intelektual ulama. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Muhammadiyah di perjalanan diangkat berdasarkan pada faktor keahlian. Perubahan pola ini muncul sejak masa kepemimpinan KH. Azhar Basyir MA.

Dalam perjalannya kepemimpinan transformasional memiliki tujuan untuk terus menerus melakukan perubahan untuk peningkatan organisasi yang senantiasa bergerak maju mengikuti perkembangan zaman baik secara struktural maupun pengembangan visi dan misi. Hal ini menimbulkan adanya gerakan dalam suatu organisasi (Rasid, 2018). Kepemimpinan transformatif KH Ahmad Dahlan bersifat sistematis dan memiliki pedoman yang jelas diantaranya menyatakan visi dan misi yang jelas, menjelaskan bagaimana visi tersebut dapat dicapai, tindakan yang sistematis dan dapaty dicontoh, dan memberikan bukti bahwa visi bisa tercapai. Kepemimpinan ini mampu memberikan perubahan pergerakan Islam di Pulau Jawa. Model kepemimpinannya yang karismatik, inspiratif, pemberi teladan/panutan serta memiliki kecerdasan intelektual dan berfikir secara visioner-antisipatoris mampu menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berkemajuan dan menjadi cikal bakal perjuang kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tahun 1961 Presiden Soekarno memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada K. H. Ahmad Dahlan dikarenakan beberapa faktor salah satunya sebagai pelopor kebangkitan ummat Islam yang sadar akan nasibnya sebagai bangsa yang dijajah dan masih banyak belajar dan berusaha.

Berbagai tipe kepemimpinan yang ada di Muhammadiyah menjadi variasi yang menjadi perjalanan hidup dalam organisasi tersebut. Dalam perkembangan organisasi, kepemimpinan karismatik bergeser menjadi kepemimpinan legal rasional. Kepemimpinan ini menjadi bagian dari seni memimpin suatu organisasi yang hidup, berkembang dan besar di Indonesia. Pembelajaran yang dapat diambil adalah bagaimana seorang pemimpin harus memiliki seni dan kreativitas dalam kepemimpinan untuk dapata menggerakkan roda organisasi. Agar roda organisasi dapat mengikuti zaman yang berjalan maka pemimpin dapat dipilih dengan kriteria yang mampu memahami tuntutan yang dibutuhkan supaya mampu bertahan dalam cepatnya gerak dan langkah perjuangan. (*)

*) Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini