Purifikasi Esensi Pendidikan: Refleksi Kritis Pembaruan Kebijakan Pendidikan di Indonesia

0
11
Purifikasi Esensi Pendidikan: Refleksi Kritis Pembaruan Kebijakan Pendidikan di Indonesia. (Istimewa)

Oleh: Imamuddin

Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini sebagaimana tertuang dalam dokumen tertinggi negara, yakni UUD NRI 1945 di dalam pasal 1 ayat 3, sehingga konotasi tersebut dapat diartikan bahwa segala bentuk kebijakan pemerintah ditulis dan disepakati secara bersama-sama yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dengan begitu, kebijakan tersebut termasuk kebijakan pendidikan yang di dalamnya termuat nilai-nilai kebermanfaatan dan secara ruang lingkup struktur politis merupakan bagian tanggung jawab penuh dari pemerintah itu sendiri dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa di Indonesia.

Secara historis, pendidikan Indonesia terjadi pada zaman kolonialisme, tepatnya pada tanggal 2 Mei 1889 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Proses terjadinya tidak terlepas dari sosok bangsawan yang bernama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang dikenal KI Hajar Dewantara dalam perjuangan membangun pendidikan sebagai alat meraih kemerdekaan.

Lika-liku pendidikan pada saat itu sangatlah rumit dengan berbagai sudut pandang politisi kolonial sehingga kebijakan yang berlaku tidak menguntungkan masyarakat pribumi. Terjadi pada tahun 1919 ketika KI Hajar Dewantara kembali ke Indonesia pada bulan September dan fokus untuk membangun pendidikan sebagai alat meraih kemerdekaan, salah satu caranya adalah dengan mendirikan Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut.

Secara konseptual, pendidikan merupakan proses pembentukan karakter. Hal ini berupaya mampu mencetak generasi masyarakat yang berakhlak mulia, berkarakter baik, serta mampu meningkatkan kesadaran hidup secara harmonis, toleransi dalam keberagamaan, memiiki wawasan yang demokratis, dan memiliki wawasan secara umum. Bahkan lebih jauh dari itu, salah satu filsuf ternama, Leonardo Da Vinci, mengutarakan bahwa discimus non scholoae yang berarti kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi kita belajar untuk kehidupan.

Dalam perenungan yang begitu mendalam, konotasi ini seakan-akan menjadikan pendidikan sebagai barang sangkal bahwa kita sekolah hanya mencari ijazah, bukan ilmu. Tapi hal ini ditentang oleh beberapa ahli bahwa bagian tersebut adalah konsekuensi antitesis dari pendidikan. Bagi penulis pendidikan adalah ruang esensi yang sangat penting bagi seseorang yang berada di suatu tatanan. Bahkan hal ini diucapkan oleh Nelson Mandela bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.

Persoalan terkait ketidakseimbangan pendidikan di Indonesia sudah menjadi pembicaraan di berbagai lini, termasuk dalam lini tenaga kerja pendidikan dan lini pelajar atau mahasiswa. Persolaan tersebut merupakan sebuah ketidaksesuaian antara kebijakan yang ada dalam lingkungan pendidikan mengenai tenaga pendidikan.

Mendikbudristek Nadiem Makarim dalam puncak Hari Guru Nasional 2023 di Jakarta pada 26 November 2023 mengatakan bahwa “menjanjikan memenuhi target pengangkatan 1 juta guru PPPK pada tahun 2024”. Pengangkatan tersebut dalam upaya untuk mengstabilisasikan jumlah guru honorer yang di bawah standarisasi mutu pendidikan. Dalam tujuan untuk menstrukturalkan secara prosedural pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau sebagai aparatur sipil negara (ASN).

Yang terbaru terkait persolan pendidikan adalah adanya kebijakan baru mengenai “seragam sekolah” dengan rasionalisasi bahwa menanam dan menumbuhkan rasa nasionalisme dan kebersamaan, menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan, meningatkan kesetaraan tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi, meningkatkan disiplin dan tanggung jawab, dan persoalan yang terakhir adalah persoalan UUD NRI 1945 Pasal 31 ayat 1-2 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Sehingga konotasi tersebut dapat diartikan bahwa segala bentuk kebijakan adalah menjadi tanggungjawab besar bagi pemerintah.

Lodge mengatakan bahwa hidup adalah pendidikan dan pendidikan adalah hidup. Dengan demikian, cakupan wilayah pendidikan meliputi seluruh umat manusia. Secara statistik, penduduk Indonesia yang buta huruf berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) angka buta huruf usia 15-59 tahun sebesar 1,50% atau sekitar 2.666.859 orang dengan jumlah minat literasi sebesar 0,001% sebagaimana dilansir UNESCO.

Sangat aneh dengan banyak penduduk Indonesia yang hampir setara dengan negara Amerika dengan kemelekan literasi masyarakat sebesar 86 %. Faktor terjadinya adalah kurangnya pengetahuan masyarakat terkait kesadaran literasi bagi orang tua, mengakibatkan generasi masyarakat yang sama dengan tingkat progresivitas yang pasif.

Dari permasalahan yang ada di atas, dapat kita ambil sebuah solusi bersama, yaitu dengan memulai, akan kita bawa ke mana pendidikan kita? Persoalan pertama terkait dengan pengangkatan guru yang berkompeten dengan upaya memberikan dampak baik untuk peserta didik dalam sebuah proses pembelajaran. Dengan demikian, pendidikan sendiri akan mengalami kemajuan secara kualitas dan kuantitas.

Guru kompeten merupakan seorang yang melakukan cara mendidik dengan mengetahui secara kapasitas dan kapabilitas peserta didik. Tokoh pendidikan ternama, Ki Hajar Dewantara, mengutarakan hal tersebut dengan mengatakan mendidiklah dengan hati.

Terkait fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan, saya ingin menawarkan sebuah solusi yang mungkin bisa kita petik bersama-sama, yaitu progresivisme mewujudkan esensialisme. Berbeda dengan apa yang ditawarkan oleh Nadiem Makarim bahwa persoalan terkait tenaga kerja pendidikan harus ada cara yang efektif dengan menciptakan sistem perekrutan guru (marketplace) dengan alasan untuk memudahkan sekolah mendapatkan guru yang sesuai kebutuhan sekolah.

Marketplace bukanlah solusi yang tepat bagi guru, justru itu menjatuhkan derajat guru. Lalu, pemerintah harus tahu secara kedudukan pendidikan dengan cara menata kebijakan yang layak. Persoalan-persoalan yang terjadi merupakan kebutaan atau kedunguan pemerintah melihat secara esensi dari pendidikan.

Maka dari itu, pemerintah harus menata kembali struktur kepemerintahan yang layak dan yang mengerti terkait nilai-nilai pendidikan. Salah satu kebijakan terkait Sistem Pendidikan Nasional dalam UUD NRI 1945 Pasal 31 yang masih angan-angan. Belum lagi permasalahan literasi masyarakat sampai sekarang belum ada solusi yang direspons oleh pemerintah itu sendiri. Lalu, apakah kita membiarkan begitu saja? Jelas tidak, karena pendidikan akan terus hidup.

Imamuddin
Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang, Ketua Komisariat IMM Raushan Fikr UMM

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini