Pangan Sekarat, padahal Indonesia Negeri Agraris

0
109
Ace Somantri, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat. (Dok pribadi/KLIKMU.CO)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Berita dan informasi bergulir sejak sebulan ini ihwal harga beras. Konon kabarnya melampaui batas kewajaran harga biasanya. Entah apa yang terjadi? Hanya saja jikalau beras ini terus-menerus mahal dan tak terkendali akan berdampak buruk kepada stabilitas sosial dan politik bangsa dan negara.

Pasalnya, hal tersebut adalah bahan makanan pokok warga negara Indonesia. Beras menjadi kekuatan pangan Indonesia dan negara-negara lain di dunia, sehingga ketika terjadi tubulensi keras bahan makanan pokok akan terjadi gejolak sosial, bahkan sangat mungkin gelombang aksi turunkan harga beras akan menjadi pemicu gerakan masa hingga membentuk people power dan berujung meminta turun penguasa apabila tidak dapat mengendalikan harga makanan pokok negara.

Isu harga beras melambung bukan cerita belaka. Dua bulan ini mengalami kenaikan signifikan kisaran beras kualitas sedang 2000-2500/kilogram dari harga biasanya. Artinya ada kurang lebih ada kenaikan 25%. Bagi masyarakat yang terbiasa membeli akan merasakan beratnya, karena apabila membeli 5 kg ada penambahan yang cukup besar nilai angkanya. Bagi berpenghasilan rendah, apalagi pengangguran sangat-sangat berat untuk membeli beras.

Bagi para konglomerat dan birokrat pejabat negara tidak terasa kenaikan harga beras. Mereka didapurnya terima sudah tersedia siap santap. Apalagi pejabat kelas kakap, negara menjamin seluruh kebutuhan pokoknya. Jadi jauh peka dan peduli karena sangat tidak merasakan susah dan sulitnya menyediakan bahan makanan pokok untuk dirinya dan keluarga. Sementara rakyat nan jelata harus berusaha keras dengan trik matahari membakar kulitnya hingga terkelupas dan orang-orang jompo menunggu belas kasihan dari orang.

Kondisi pangan negara boleh dikatakan sedang sekarat, selain memang manajemen pengolaan lahan yang tidak berorientasi jangka panjang. Pemerintah melalui Bulog kadang hanya sebagai hiasan kebijakan, bukan untuk mementingkan rakyat, melainkan untuk sekelompok pencari rezeki receh yang tidak sesuai kaidah pranata sosial dan hukum negara. Bahkan ada gosip –semoga tidak benar kabarnya– kenapa harga beras naik disebabkan ada indikasi pembayaran utang negara pada salah satu negara menggunakan beras. Mungkin ini geli ingin tertawa mendengarnya, hal itu relatif sesuatu yang tidak mungkin.

Akan tetapi, manakala benar adanya, itu dapat jadi catatan terburuk dalam sejarah bangsa Indonesia. Demi bayar utang negara bekas penggunaan operasional kenegaraan dan para pejabat yang korup, sangat memalukan dan menyakitkan.

Katanya kita ini negara agraris. Negara yang memiliki sumber daya alam berpenghasil terbesar pangan dan rempah-rempah. Memang benar, bukan katanya apalagi sekedar info. Pasalnya, tanah Indonesia adalah tanah subtropis yang subur gembur dan dapat ditanami berbagai macam ragam tumbuhan, baik pohon produktif maupun pohon konservatif. Tidak ada alasan tanah subur nan gembur.

Bangsa dan negara ini menjadi negara miskin dengan ketahanan pangan yang sangat lemah tak berdaya. Yang sangat diherankan, harga beras yang diambil dari petani selalu tidak seimbang dengan biaya produksi tanam. Jika dihitung berdasarkan pendekatan bisnis, biaya tanam besar dan hasil yang dijual tidak memenuhi keadilan harga. Obat-obatan pertanian naiknya dinamis dan cenderung cepat naik, sementara hasil padi dan beras nyaris dipastikan relatif statis, apalagi buruh tani semakin tidak berdaya.

Agraris state namanya, namun produksi segala hal yang dihasilkan dari pertanian cenderung lebih banyak output (yang dikeluarkan) daripada input (yang masuk). Wajar saja proses pengadaan kebutuhan publik terjadi ketersumbatan pasokan. Konsekuensinya suplai dan deman tidak seimbang karena permintaannya lebih tinggi yang akhirnya menimbulkan harga naik.

Jikalau ini terus berlanjut, para pengusaha beras importir akan melakukan pengoplosan antara beras impor dan lokal. Hal tersebut sudah sering dilakukan oleh penguasaha beras nakal untuk memainkan harga beras. Apabila tidak ada tindakan tegas dari penegak hukum, dipastikan akan merusak harga pasar dan yang dikorbankan pembeli eceran menanggung resiko harga mahal. Begitupun bahan pangan lainnya tidak jauh beda pola yang dimainkannya.

Sangat prihatin, jutaan hektare lahan untuk menanam padi sering menjadi objek permainan para tengkulak. Pemerintah cenderung buta dan tuli ketika melihat dan mendengar peristiwa tersebut, jauh beda dengan Thailand dan Vietnam walaupun bukan negara agraris besar mereka selalu surplus bahan pangan dengan berkualitas baik.

Kenapa mereka dapat seperti itu? Karena mereka regulasinya bukan jadi permainan pengusaha dan pejabat, melainkan ditegakkan dengan kontrol atau pengwasan yang ketat. Sehingga wajar saja positioning kualitas pangan mereka diperhitungkan oleh negara-negara luar dan juga mampu menembus pasar Saudi Arabia manakala musim haji tiba, padahal seharusnya Indonesia menjadi pemasok utama kebutuhan pangan jamaah haji di Saudi Arabia.

Di sisi lain, jamaah haji Indonesia terbanyak sedunia yang seharusnya memiliki positioning lebih untuk memasok kebutuhan pangannya, pendekatan yang dilakukan seolah-olah barter saling memberi peluang. Apa lagi Indonesia pasar jemaah haji terbesar dan terbanyak, bayangkan saja antrian untuk haji 10-20 tahun lebih menjadi konsumen ekosistem haji bagi negara Saudi Arabia yang tidak akan pernah habis-habisnya.

Indonesia seharusnya dapat membaca dengan jeli hal ihwal tersebut, bukan hanya memainkan sisi regulasi haji yang konvensional, melainkan harus melakukan bargaining position dengan Arab Saudi agar mereka tidak menjadikan ekosistem haji untuk mereka saja. Indonesia pun harus menjadi pemain utama dalam hal itu. Barter suplai dan deman menjadi keharusan untuk kepentingan bangsa dan negara, terlebih untuk kepentingan umat atau rakyat.

Fakta hari ini, rakyat tercekik dengan harga beras atau bahan pokok lainnya yang menunjukkan negara ini lemah tidak berdaya. Dengan dalil negara agraris hanya tepuk dada yang kosong, komitmen dan keberanian memainkan peran di dunia masih jauh dari perkiraan. Sumber daya manusia bangsa Indonesia masih terjebak kapitalisasi birokasi berujung korup, sementara potensi kapitalisasi lahan dan manajemen pasokan kebutuhan sandang dan pangan makin hari makin dibajiri oleh produk negara China hampir dipastikan tidak ada satu pun yang tidak di impor dari mereka, termasuk karyawan atau pegawai kasar infrastruktur dan jenis pabrikasi lainnya harus di impor tenaganya dari China.

Apa kata dunia….? Malu bangsa ini jikalau terus berprilaku tak ubahnya negara bak pembantu atau asisten rumah tangga.

Banyak harapan dan cita-cita bangsa ini menjadi negara termaju ke empat di dunia, semoga bukan sekedar harapan kosong dan palsu. Wahai generasi muda, rebutlah dunia ini untuk negerimu, jangan sia-siakan waktumu hanya senda-gurau, berikan karyamu untuk ibu pertiwi sebagi buktimu mengabdi. Jiwa mudamu jangan engkau habiskan untuk sesaat, melainkan memberi kontribusi kepada negeri agar bangsa ini memiliki harga diri. Wallahu’alam. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini